RSS

Mengasah Pena di Ufuk Ilmu

Memang benar apa kata orang, masa-masa belajar adalah masa yang cukup menyenangkan. Ada teman, sahabat, keluarga, handai taulan yang selalu menorehkan kisah persahabatan di bilangan sarat penuh makna serta memberikan motifasi kepada kita. Ilmu serta pengorbananmu akan selalu terngiang dan kukenang dalam benak dan kalbuku.

Tawa riang akan selalu menghiasi dan menghibur hatiku setiap hari, menghiasi setiap suasana ukhuwah islamiyah sejati. Ada nasehat, motivasi dari lisan-lisan yang penuk makna dari kalian bagiku. Susah senang duka kita hadapi bersama, Tawa kalian adalah tawaku, riang kalian adalah riangku, keceriaan kalian adalah keceriaanku, kesedihanmu adalah kesedihanku, duka kalian adalah dukaku, jiwa kalian adalah jiwaku. Sampai-sampai asamnya garam tak luput menghiasi indahnya warna pelangi cita-cita kita di ufuk ilmu.


Tahun 2004, mungkin adalah tahun bersejarah bagiku dan tak akan bisa kulupakan di sepanjang kehidupanku. Karena di tahun itulah awal aku memulai lembaran baru dalam kehidupanku setelah aku hijrah dari kota kelahiranku menuju kota dimana aku akan mengukir dan meraih cita serta asaku. Tepatnya di kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Bangil, pasuruan sering disebut orang sebagai kota santri dan juga jalur utama yang menghubungkan Surabaya-Bali.


Ketika itu ada selaksa tekad yang kuat dalam jiwa dan kalbu ini untuk bisa menjalani dan mengarungi kehidupan yang mulai beranjak dewasa untuk belajar mandiri tida bergantung pada orang tua. Alhamdulillah ketika itu aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku melepas kepergianku dengan do’a restu dan keridhoan. Bahkan mereka menaruh harapan akan ada perubahan sikap, penampilan serta membawa manfaat bagi keluarga dan orang lain setelah aku kembali dari tempat baruku itu nanti. Ahhh.. semakin kuat saja tekadku untuk bisa meraih cita dan asa serta membuktikan bahwa aku bisa memenuhi harapan kedua orang tuaku. Yaa Allah ridhoilah hijrahku untuk meraih cita dalam menganggungkan kalimatMU. ALLAHU AKBAR


Bismillah aku memulai hari- hariku di Pondok pesantren PERSIS Bangil, ada rasa syukur yang tak terhingga dalam kalbuku, ada semangat yang membara di dadaku. Bertekad untuk meraih cita dan asa. Di awal- awal hari- hari yang kujalani di tempat baru ini kesan yang kurasa adalah ukhuwah serta semangat yang menjalar kuat dengan satu tujuan yang sama. Para ustadz di Pondok pesantren itu tak hanya mencurahkan tenaga dan kemampuannya untuk mengajarkan ilmunya, mereka juga memberikan perhatian kepada anak- anak didiknya yang luar biasa. Sampai- sampai aku menemukan figur orang tua kedua di tempat ini. Aku sampai membatin aku tak akan menyia- nyiakan kesempatan agung yang telah diberikan kepadaku.


Di Pondok pesantren aku juga banyak mendapatkan ilmu kedisiplinan. Aku rasakan betapa pentingnya kedisiplinan dalam mengarungi kehidupan sehari- hari ini. Walaupun aku tak suka dan dan tak suka rasanya disiplin, tapi aku punya keyakinan harus bisa menjalaninya. Dengan disiplin aku bisa menghargai bagaimana cara menghargai nilai waktu yang begitu agung. Sebagaimana pepatah arab yang terkenal di kalangan para santri “al waqtu kas saifi in lam taqtaqhu qata’aka” – waktu itu bagaikan sebilah pedang, jika kamu tak pandai memotongnya maka kamu akan terpotong sendirinya olehnya. Subhanallah..


Hari demi hari kujalani dengan suka cita bersama teman- teman senasib seperjuanganku di pondok pesantren PERSIS Bangil. Sedikit demi sedikit aku rasakan ada perubahan dari diriku, ilmu yang telah diajarkan para ustadzku juga semakin hari semakin bertambah. Yang dulunya aku tak kenal Bahasa arab, sedikit demi sedikit aku dikenalkan oleh ustadzku. Tak kalah pentingnya kakak kelas kami setiap ba’da isya’ dan shubuh juga tak mengenal lelah mengajarkan mufrodat ( kosakata) untuk menambah perbendaharaan kami, dengan tujuan aku dan adik- adik kelasnya bisa mempraktekannya dan menguasainya. Kitab- kitab bahasa arab juga di bacakannya kepada santri- santri agar taka sing lagi kelak setelah keluar dari Pondok pesantren.


Hari berganti hari bulan berganti bulan, tak terasa enam bulan sudah aku menyelami kehidupanku baruku di Pondok pesantren PERSIS Bangil. Rasanya teramat singkat aku bisa belajar ilmu- ilmu agama dan ilmu- ilmu lainnya. Di awal- awal perjalananku di Pondok pesantren, aku sempat meraih peringkat tiga besar. Sungguh ini adalah karunia yang amat luar biasa yang telah aku rasakan. Bahkan ketika aku memberi kabar baik ini kepada orang tuaku dirumah, mereka sempat tak percaya aku bisa masuk tiga besar. Aku yakin semua itu berkat usaha dan do’a orang- orang yang aku sayangi.


Di waktu senggang tak jarang perasaanku membisikkan rasa kerinduan akan kehangatan, keceriaan, kasih sayang keluarga dan sejuknya kampung halamanku. Ahh.. aku akan tetap membulatkan tekad untuk berjuang dan betah di tempat baru yang jauh dari kampung halamanku. Kalaupun ada kesempatan lain, aku hanya bisa mengobati rasa kerinduanku ini hanya via telepon. Tapi subhanallah aku sudah merasa bahagia apalagi kalau aku mendengar kabar orang rumah baik- baik saja.


Yaa Rabb.. Izinkan Hamba Menjadi Pejuang Ilmu

Ananda, jalan penuntut ilmu bagai jalan berlumpur

Engkau harus bisa lalui jalan itu

Agar orang tuamu bangga mengelus dada


Alhamdulillah sampai juga aku di garis finish setelah kurang lebih empat tahun aku menuntut di Pondok pesantren PERSIS Bangil. Karena aku di awal masuk di kelas takhasus terlebih dahulu. Tentu di garis finish inilah perjuanganku dan juga teman- temanku harus lebih membara lagi karena disitulah ilmu yang sudah didapatkan dari para ustadz diujikan kembali dari awal masuk sampai akhir. Ada ujian makalah, ada ujian akhir pesantren, ada juga ujian lisan. Tentu aku dan juga teman- temanku tak mau malu dihadapan para ustadz yang nenjadi dewan penguji.


Setelah semuanya mencapai garis finish, yaitu proses pelepasan santri Pondok pesantren PERSIS aku sangat bersyukur karena aku ternyata bisa berjuang mengasah pena di Pondok pesantren sampai empat tahun lamanya. Dan tentu setelah itu, aku harus punya tekad lagi untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Dan aku bertekad untuk melanjutkan pendidikanku di jurusan bahasa arab. Ini adalah impian dan mimpiku serta kedua orang tuaku. Kata orang tuaku anaknya harus lebih tinggi pendidikannya daripada kedua orang tuanya. Semenjak masih menuntut ilmu di Pondok pesantren aku sudah memikirkan dimana aku akan melanjutkan studiku. Bahkan kedua orang tuaku telah setuju ketika aku ajukan tempat studiku selanjutnya.


Empat tahun aku berjuang menuntut ilmu di Pondok pesantren bannyak sekali warna warna kehidupan di sana yang mewarnai kehidupanku. Aku jadi banyak tahu tentang hal- hal baru yang cukup membawa perubahan bagiku serta semangatku. Itu semua tak lepas dari para ustadzku, teman- temanku, serta kakak- kakak kelasku yang selalu mengajariku tentang arti perjuangan, persahabatan dan juga kekeluargaan. Subhanallah ! hal inilah yang semakin membuatku betah untuk tinggal di Pondok pesantren.


Aku mulai mempersiapkan diriku untuk melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi yaitui kuliah. Kampus yang sudah lama kuincar letaknya ada di ibu kota Jakarta. Tempat ini tentu lebih jauh lagi dari kampung halamanku. Tapi tak apalah toh aku sudah dilatih selama empat tahun jauh dari orang tua apalagi kampung halamanku. Ketika hari test masuk mahasiswa baru, aku tak mau melewatkan kesempatan ini dan aku tak mau terlambat datang ke kampus. Karena sesuai peraturan calon mahasiswa yang terlambat memasuki ruang ujian akan dianggap gagal. Bismillah ! aku harus bisa menjadi mahasiswa di kampus ini.


Setelah test telah aku hadapi aku tinggal pasrah dan hanya bisa berdo’a kepada Alla SWT. Agar aku bisa melanjutkan studiku di kampus yang sudah aku incar sejak dulu. Akhirnya tiba saatnya pengumuman hasil test tulis calon mahasiswa baru. Tanpa ada yang mengomando aku langsung menuju kampus untuk melihat sendiri pengumuman hasil ujian test tulis. Tentu hatiku harap- harap cemas memikirkan ada atau tidak namaku di kertas yang berisikan daftar nama- nama calon mahasiswa yang lulus seleksi test tulis. Setelah beberapa kali mataku mencari namaku di 6 lembar kertas yang telah ditempel, Yaa Allah.. namaku ternyata belum ada di salah satu lembaran kertas itu.


Aku sempat putus asa ketika itu. Tapi tak lama kemudian aku mendapatkan penggantinya untuk tempatku menjadi pejuang ilmu. Aku mendapat tawaran dari orang untuk mengajar privat bahasa arab dan tahsin al qur’an untuk anaknya. Tanpa basa- basi aku langsung terima tawaran beliau. Walaupu impianku untuk bisa kuliah melanjutkan studiku tak sesuai harapanku. Tapi aku tak berkecil hati malah aku bersyukur bisa mengajarkan ilmu yang telah aku peroleh dari para ustadzku selama kurang lebih di Pondok pesantren kepada orang lain. Bagiku ini adalah kesempatan untuk sembari mengulang ilmu- ilmu pesantren agar tidak hilang sia- sia.


Alhamdulillah ternyata benar apa yang dikatakan ustadzku dulu. Skenario Allah SWT itu tak akan bisa kita duga. Ternyata ini kurasakan ketika itu aku yang ingin bertekad melanjutkan menjadi pejuang ilmu di bangku kuliah malah Allah berikan kesempatan untuk menjadi pejuang ilmu lewat mengajarkan ilmuku kepada orang lain. Yaa Allah.. Engkau telah memperkenan do’aku, mengabulkan harapanku untuk menjadi pejuang ilmu. Walaupun dengan bekal keilmuan yang seberapa dan bahkan masih dalam hitungan minim menurutku, ini aku tetap harus mengajarkan kepada orang lain. Bukankah al ‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajari bilaa tsamarin ( ilmu tanpa amal itu bagaikan pohon tanpa buah ) ?


Di sepanjang perjalananku mengadu nasib di ibu kota mengajarkan ilmuku, aku masih terus bertekad ingin mencicipi bagaimana rasanya kuliah di kampus yang kuincar. Ketika aku mendapat info bahwa di pertengahan semester akan ada seleksi test calon mahasiswa lagi. Aku tak mau gagal yang kedua kalinya. Aku harus pandai- pandai mengatur waktu untuk belajar demi menghadapi ujian test. Apalagi ketika itu waktuku sudah terpotong untuk mengajar privat. Kalau tida pandai- pandai mengatur waktu pasti aku akan kelelahan dan tak akan bisa konsentrasi belajar.


Setelah aku berjuang kurang lebih enam bulan akhirnya aku bisa menjadi mahasiswa jurusan bahasa araab sesuai yang telah aku impikan. Alhamdulillah lagi- lagi Allah masih mau mau mendengarkan hambaNya. Semua ini tak lepas dari ilmu- ilmu yang telah aku pelajari di Pondok pesantren. Aku hanya bisa berterima kasih saja kepada semua yang selalu mendukung perjuanganku menjadi pejuang ilmu. Terima kasih PERSISku, terima kasih ustadz- ustadzku, terima kasih teman- temanku senasib seperjuangan yang sampai saat ini masih mendukung dan memberikan motivasi kepadaku. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan – maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan ??

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Aku Malu pada Ayahku


Ingin empat tahun sudah ku menyantri di pesantren

ketika aku kembali ke kampung halaman

sebatas hanya untuk melepas rindu

selalu saja daku tertimpa malu


Ba’da shubuh sehabis shalat

sampai fajar merah naik satu jengkal

selalu ku mengaji dihadapan ayahandaaku tak bisa apa apa

bagai kucing dihadapan singa si raja hutan

salah tingkah kala aku diberondong pertanyaan

seputar ilmu ketika di pesantren

aku malu, dan malu


Ba’da isya’ malam rabu

aku malu lagi

melihat ayah membacakan Bulughul Maram

kitab hadist karangan Ibnu Hajar Al Asqolani

aku selalu berfikir

bisakah diri ini meneruskan ayah

membacakan itu kitab di depan masyarakat ???


Kembali ke pesantren

itu itu saja yang kupikirkan

bisa tidakkah aku meneruskan perjuangan leluhur

sebagai ulama kampung

bisakah…


Ah… Apa yang kubisa, aku malu…

Ba’da ashar di Mushollah kampung

kulihat lagi ayah

dengan manis dia duduk

di depan meja yang agak reot

tengah membacakan Tafsir Ibnu Katsir

sempat aku bersedih, mengeluarkan air mata

terharu…


Kembali aku berpikir.. Bisakah aku…

meneruskan perjuangan leluhur

sedang diri ini tak punya apa apa

Ilmu pun, entahlah…

yang penting aku malu, malu, dan aku malu…


Depok, 05.26

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0

Getar Gitar Cinta

Hhfff.. !! Dengan satu lompatan saja aku sudah berada di pinggiran bibir pintu metro mini 75 jurusan Blok M yang mulai tancap gas setelah menaikkan beberapa penumpang di halte depan Pejaten Village. Sejurus kemudian nampak ku lihat wajah kenek metromini itu kurang bersahabat dengan para pengamen termasuk aku juga. Karena aku tak pernah bayar ongkos kalau naik bus. Memang itulah trik yang biasa aku pakai ketika aku lagi bokek. Apalagi kalau aku ingin sekedar jalan- jalan gratisan tanpa bayar ongkos. Malahan dengan aku mengamen dari metromini satu ke metromini yang lain bisa menjadi pemasukan tetap bagiku. Lumayan lah bisa dipakai untuk mengganjal perut tiga kali atau bahkan lebih.


Siang itu matahari sangat menyeringai. Dan angin pun membawa debu- debu di sekitar jalanan ibu kota terbang bersama. Aku yang hanya bermodal tampang yang lumayan untuk menjadi seorang artis dengan jenggot lebat dipotong tipis walaupun aku dulu tak pernah menjadi anak rohis, aku langsung tampil tanpa beban dan sedikit nekat. Sebuah gitar butut yang sedari tadi aku bawa mulai mengiringi tembang yang telah aku bawakan. Seusai membawakan beberapa tembang lagu akhirnya tak lupa ku ucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada para penumpang sekaligus pak sopir dan keneknya.


Menyanyi sebenarnya bukan kegemaranku. Apalagi memainkan sebuah dawai gitar aku lebih tak mampu lagi. Tapi aku sempat belajar dari temanku. Sampai ia rela memberikan gitarnya kepadaku. Dulu aku waktu masih kecil pernah menang lomba menyanyi bareng teman- teman, itupun waktu aku masih duduk dibangku taman kanak- kanak. Setelah beralih ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi aku juga pernah memenangkan lomba drama bersama teman- temanku. Ketika aku masih duduk di Madradah Aliyah,aku beralih hoby yaitu menulis. Sampai- sampai aku ketika itu pernah di daulat dan mendapat amanat sebagai ketua Sie. Perpustakaan dan Publikasi. Akhirnya sampai sekarang walaupun aku juga punya sedikit prestasi, teman- teman masih memanggil aku penulis ataupun seniman.


Ternyata gelar dari teman- temanku itu masih menyisakan dalam kehidupanku. Sekarang aku memang benar- benar menjadi seniman jalanan. Seniman jalanan yang memetik senar dawai gitar butut untuk mencari uang. Setiap hari turun dari metromini satu ke metromini yang lain sambil menenteng gitar dan kantong sisa bungkus permen kopiko yang aku gunakan untuk menampung uang recehan bekas kembalian para penumpang yang mereka rasa tidak cukup berharga. Tapi bagiku yang hanya seorang perantau tanpa kawan dan sanak keluarga ini, uang recehan itu sangatlah berharga untuk menyambung hidup selama di Jakarta ini.


Sebenarnya niat awal aku datang merantau ke Jakarta ini hanya untuk menyambung kuliah. Tapi ternyata ketika itu aku gagal mengikuti ujian masuk. Aku tahu tak mudah memang mengikuti seleksi ujian masuk para calon mahasiswa di Universitas ini. Tapi akhirnya aku berpikir mungkin inilah jalan yang terbaik yang telah Allah berikan kepadaku. Inilah jalan yang harus ku tempuh. Allah pasti punya rencana di balik kegagalanku ketika itu. Rencana Allah itu pasti indah nantinya dan kadang tak di sadari oleh para makhluknya.


Aku datang ke Jakarta ketika itu dengan membawa gitar butut pemberian salah satu temanku di kampung. Bersama gitar butut inilah aku bisa hidup di Jakarta walaupun aku hanya tinggal di kost- kostan yang mungkin hanya cukup di tempati dua orang saja. Aku masih bisa bersyukur masih bisa makan walaupun dengan lauk seadanya. Gitar ini pulalah yang membiayai kuliahku di salah satu Universitas Terbuka di Jakarta. Aku memutuskan mengambil jurusan Seni dan Sastra ketika itu. Aku bersyukur sekali ketika itu walau aku tak bisa melanjutkan pendidikanku di Universitas yang telah aku incar sejak awal.


Hari berganti hari, minggu pun berganti minggu. Tak terasa satu tahun sudah aku menempuh pendidikan di Universitas Terbuka. Tapi tak kunjung juga pekerjaan tetap aku dapatkan. Tapi aku sedikit lega karena beberapa tulisanku pernah di muat oleh salah satu redaksi majalah. Royalti dari tulisanku yang aku kirimkan ini ternyata bisa aku gunakan sebagai pembayaran kuliahku. Kalau ada kesempatan aku selalu menuliskan imajinasiku, atau bahkan pengalamanku sampai menjadi sebuah cerpen dan aku kirimkam ke redaksi majalah.

*****

Pagi ini lagi- lagi tak bosan- bosannya jalanan ibu kota ramai oleh suara- suara bisingnya kendaraan yang melaju. Bunyi klakson dari pengendara yang tak sabar ingin cepat sampai ke tempat tujuan juga saling bersahut- sahutan. Tak mau ketinggalan aku pun juga ingin menyusuri jalanan ibu kota. Tapi bedanya aku tidak menyusuri jalanan ibu kota seperti mereka yang mengendarai sedan, kijang atau apalah merknya. Lagi- lagi dengan berbekal gitar butut di pundak dan kantong sisa bungkus permen di saku, aku mulai menyisiri jalanan. Dan berharap hari ini rezeki bersahabat dengan aku.


Lagi- lagi dengan sigap aku sudah berada di pinggiran pintu metromini. Sejenak aku menatap wajah- wajah para penumpang, aku bergumam sendiri “Seandainya tiap penumpang memberiku uang ribuan saja pagi ini pasti aku sudah bisa sarapan”. Ahh.. sudahlah aku yakin para penumpang metromini yang sudah aku tumpangi dari tadi sudah merindukan suara emasku. Ku setel terlebih dahulu senar gitar bututku sebelum aku membawakan sebuah lagu. Setelah gitarku siap, akhirnya aku pun mulai bernyanyi.


“Assalamu’alaikum dan selamat pagi semua para penumpang ! saya doakan semoga para penumpang masih berada dalam lindungan Allah. Baiklah berjumpa kembali dengan saya Fandi dengan tembang- tembang lagu yang akan mengantarkan anda semua ke tempat tujuan atau ke te tempat kerja. Satu buah lagu dari Ari Lasso akan mengawali perjumpaan kita pagi ini”.


“Selamat mendengarkan !” itulah kata pembuka yang sering aku ucapkan mengawali setiap lagu- lagu yang akan aku nyanyikan. Itung- itung untuk menarik perhatian para penumpang kepadaku. Sejurus kemudian aku langsung mempersembahkan lagu- lagu dan tanganku memainkan gitar bututku dengan cekatan.


Hhff.. akhirnya lagu demi lagu telah aku nyanyikan. Empat buah lagu yang telah aku nyanyikan pagi ini. Ternyata para penumpang tak bosan- bosannya mendengar suaraku. “Wahh berarti para penumpang puas dengan suaraku” gumamku dalam hati. Setelah menutup perjumpaanku dengan para penumpang, aku langsung menggilirkan bungkus permenku di hadapan para penumpang yang sedari tadi telah menikmati alunan suara emasku dan gitar bututku. Alhamdulillah para penumpang ada yang yang ngasih uang ratusan, lima ratusan, atau bahkan kalau lagi baik mereka ada yang ngasih selembar uang ribuan. Lumayanlah bisa untuk makan dua kali sehari. Abang kondektur yang sedari tadi manyun ku dekati “Nih bang, bagi- bagi rezeki!”. Aku sambil menyerahkan dua lembar uang ribuan sebagai ongkos. Abang kondektur yang sedari tadi pasang muka manyun tiba- tiba mukanya menjadi ceria setelah menerima ongkos pembayaranku.


Hari ini bertepatan dengan pengumuman hasil ujian semesterku. Aku agak sedikit mempercepat langkahku karena aku sudah tak sabar ingin melihat hasil jerih payahku di ujian semester yang telah aku laksanakan beberapa minggu yang lalu. Aku berharap ketika aku melihat papan pengumuman nanti IP 3,3 masih berada lurus tepat di namaku Fandi Effendi. Sebelum masuk pelataran kampus, aku tersadar bahwa gitar bututku masih tergantung di pundakku. Tapi tak apalah toh aku juga sering di panggil seniman jalanan daripada mahasiswa oleh mahasiswa yang lain. Akhirnya ku putuskan membawa gitar bututku ini masuk ke dalam kampus. Setengah berlari aku langsung menuju tempat dimana hasil ujianku ditempel. Sejurus kemudian aku langsung mencari nama Fandi Effendi dan tak ku hiraukan nama- nam mahasiswa yang lainnya.


“Cihuii..Yes..Yes !!” Indeks Prestasiku 3,3. Wah ternyata harapanku sebelum masuk gerbang tadi tercapai. Aku masih bisa bertahan rupanya. Wahh ! dulu waktu aku masih duduk di MI, SMP, dan MA ketika melihat nilaiku bagus aku pasti mengucap “Alhamdilillah” tapi sekarang berbeda. Aku jadi malu sendiri. Akhirnya ku ucapkan “Alhamdulillah” sambil menengadahkan tanganku sebagai tanda syukurku lalu mengusapkan tanganku ke wajah. Sekarang ujian semester sudah, Alhamdulillah hasilnya juga cukup memuaskan. Bagi seorang seniman jalanan hasil itu sudah sangat memuaskan. Yahh.. saatnya cari uang lagi ngamen di jalan sambil cari inspirasi di jalan yang nanti akan ku tuliskan dan akan aku kirimkan ke beberapa redaksi majalah remaja. Lumayanlah hasilnya cukup buat bayar uang kuliahku dan kalau ada sisa hasil dari redaksi akan ku tabung.


Walaupun aku masih diberi kesempatan kuliah, hatiku belum tenang karena aku belum bisa masuk di Universitas ternama yang telah aku incar sejak awal. Aku juga merasa bersalah kepada bapak dan ibuku karena dahulu ketika aku pamit merantau ke Jakarta aku berjanji bahwa aku pasti bisa kuliah di Universitas itu. Tapi ternyata sekarang harapan itu lain jauh dari apa yang aku janjikan kepada bapak dan ibuku. Tapi aku yakin walau takdir berkata lain, aku janji pasti akan berjuang demi menjadi anak yang bisa membahagiakan ibu dan bapakku.


Di depan pintu gerbang Universitas, aku baru mau keluar untuk menyisir jalanan lagi, aku berhenti sejenak di warung langgananku. “Bang, kopi ABC satu ya !” pesanku kepada abang penjaga warung itu. Setelah kopi ABC yang ku pesan sudah berada di depan mejaku, aku langsung menghisab Tji Sam Soe itung- itung sebagai perayaan kemenanganku telah mendapatkan hasil yang memuaskan dalam ujian semesterku. Di tengah- tengah ni’matnya aku menghisap Tji Sam Soe, aku teringat akan lembaran- lembaran putih di masa laluku. Dulu ketika aku mendapat nilai bagus, aku sering merayakan kemenanganku dengan mentraktir teman- teman ku ala kadarnya. Pastinya ku sesuaikan dengan isi kantongku. Kalau aku lagi punya rezeki lebih teman- temanku bahkan ada yang bisa makan nasi bungkus buat berdua. Biasanya aku kalau ujian akan tiba aku juga sering puasa sunnah Senin Kamis. Kadang aku juga sempat Puasa Nazar ketika itu. Tapi sekarang keadaan seperti itu sudah jauh dariku. Oleh karena itu aku sengaja membeli segelas kopi dan sebatang rokok saja untuk pengiritan.


Siang ini ternyata ku urungkan niat awalku sebelum keluar gerbang Universitas tadi. Aku memilih untuk berlama- lama menghabiskan waktu ku di warung langgananku ini. Aku sembari menyesali kehidupanku yang jauh dari kehidupanku dulu. Aku pun sempat berpikir bisakah aku berubah seperti kehidupanku di masa lalu. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Aku juga tak ingin bapak dan ibuku mengetahui keadaan anaknya di Jakarta sekarang.


Depok, Jawa Barat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read User's Comments0