RSS

Mengasah Pena di Ufuk Ilmu

Memang benar apa kata orang, masa-masa belajar adalah masa yang cukup menyenangkan. Ada teman, sahabat, keluarga, handai taulan yang selalu menorehkan kisah persahabatan di bilangan sarat penuh makna serta memberikan motifasi kepada kita. Ilmu serta pengorbananmu akan selalu terngiang dan kukenang dalam benak dan kalbuku.

Tawa riang akan selalu menghiasi dan menghibur hatiku setiap hari, menghiasi setiap suasana ukhuwah islamiyah sejati. Ada nasehat, motivasi dari lisan-lisan yang penuk makna dari kalian bagiku. Susah senang duka kita hadapi bersama, Tawa kalian adalah tawaku, riang kalian adalah riangku, keceriaan kalian adalah keceriaanku, kesedihanmu adalah kesedihanku, duka kalian adalah dukaku, jiwa kalian adalah jiwaku. Sampai-sampai asamnya garam tak luput menghiasi indahnya warna pelangi cita-cita kita di ufuk ilmu.


Tahun 2004, mungkin adalah tahun bersejarah bagiku dan tak akan bisa kulupakan di sepanjang kehidupanku. Karena di tahun itulah awal aku memulai lembaran baru dalam kehidupanku setelah aku hijrah dari kota kelahiranku menuju kota dimana aku akan mengukir dan meraih cita serta asaku. Tepatnya di kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Bangil, pasuruan sering disebut orang sebagai kota santri dan juga jalur utama yang menghubungkan Surabaya-Bali.


Ketika itu ada selaksa tekad yang kuat dalam jiwa dan kalbu ini untuk bisa menjalani dan mengarungi kehidupan yang mulai beranjak dewasa untuk belajar mandiri tida bergantung pada orang tua. Alhamdulillah ketika itu aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku melepas kepergianku dengan do’a restu dan keridhoan. Bahkan mereka menaruh harapan akan ada perubahan sikap, penampilan serta membawa manfaat bagi keluarga dan orang lain setelah aku kembali dari tempat baruku itu nanti. Ahhh.. semakin kuat saja tekadku untuk bisa meraih cita dan asa serta membuktikan bahwa aku bisa memenuhi harapan kedua orang tuaku. Yaa Allah ridhoilah hijrahku untuk meraih cita dalam menganggungkan kalimatMU. ALLAHU AKBAR


Bismillah aku memulai hari- hariku di Pondok pesantren PERSIS Bangil, ada rasa syukur yang tak terhingga dalam kalbuku, ada semangat yang membara di dadaku. Bertekad untuk meraih cita dan asa. Di awal- awal hari- hari yang kujalani di tempat baru ini kesan yang kurasa adalah ukhuwah serta semangat yang menjalar kuat dengan satu tujuan yang sama. Para ustadz di Pondok pesantren itu tak hanya mencurahkan tenaga dan kemampuannya untuk mengajarkan ilmunya, mereka juga memberikan perhatian kepada anak- anak didiknya yang luar biasa. Sampai- sampai aku menemukan figur orang tua kedua di tempat ini. Aku sampai membatin aku tak akan menyia- nyiakan kesempatan agung yang telah diberikan kepadaku.


Di Pondok pesantren aku juga banyak mendapatkan ilmu kedisiplinan. Aku rasakan betapa pentingnya kedisiplinan dalam mengarungi kehidupan sehari- hari ini. Walaupun aku tak suka dan dan tak suka rasanya disiplin, tapi aku punya keyakinan harus bisa menjalaninya. Dengan disiplin aku bisa menghargai bagaimana cara menghargai nilai waktu yang begitu agung. Sebagaimana pepatah arab yang terkenal di kalangan para santri “al waqtu kas saifi in lam taqtaqhu qata’aka” – waktu itu bagaikan sebilah pedang, jika kamu tak pandai memotongnya maka kamu akan terpotong sendirinya olehnya. Subhanallah..


Hari demi hari kujalani dengan suka cita bersama teman- teman senasib seperjuanganku di pondok pesantren PERSIS Bangil. Sedikit demi sedikit aku rasakan ada perubahan dari diriku, ilmu yang telah diajarkan para ustadzku juga semakin hari semakin bertambah. Yang dulunya aku tak kenal Bahasa arab, sedikit demi sedikit aku dikenalkan oleh ustadzku. Tak kalah pentingnya kakak kelas kami setiap ba’da isya’ dan shubuh juga tak mengenal lelah mengajarkan mufrodat ( kosakata) untuk menambah perbendaharaan kami, dengan tujuan aku dan adik- adik kelasnya bisa mempraktekannya dan menguasainya. Kitab- kitab bahasa arab juga di bacakannya kepada santri- santri agar taka sing lagi kelak setelah keluar dari Pondok pesantren.


Hari berganti hari bulan berganti bulan, tak terasa enam bulan sudah aku menyelami kehidupanku baruku di Pondok pesantren PERSIS Bangil. Rasanya teramat singkat aku bisa belajar ilmu- ilmu agama dan ilmu- ilmu lainnya. Di awal- awal perjalananku di Pondok pesantren, aku sempat meraih peringkat tiga besar. Sungguh ini adalah karunia yang amat luar biasa yang telah aku rasakan. Bahkan ketika aku memberi kabar baik ini kepada orang tuaku dirumah, mereka sempat tak percaya aku bisa masuk tiga besar. Aku yakin semua itu berkat usaha dan do’a orang- orang yang aku sayangi.


Di waktu senggang tak jarang perasaanku membisikkan rasa kerinduan akan kehangatan, keceriaan, kasih sayang keluarga dan sejuknya kampung halamanku. Ahh.. aku akan tetap membulatkan tekad untuk berjuang dan betah di tempat baru yang jauh dari kampung halamanku. Kalaupun ada kesempatan lain, aku hanya bisa mengobati rasa kerinduanku ini hanya via telepon. Tapi subhanallah aku sudah merasa bahagia apalagi kalau aku mendengar kabar orang rumah baik- baik saja.


Yaa Rabb.. Izinkan Hamba Menjadi Pejuang Ilmu

Ananda, jalan penuntut ilmu bagai jalan berlumpur

Engkau harus bisa lalui jalan itu

Agar orang tuamu bangga mengelus dada


Alhamdulillah sampai juga aku di garis finish setelah kurang lebih empat tahun aku menuntut di Pondok pesantren PERSIS Bangil. Karena aku di awal masuk di kelas takhasus terlebih dahulu. Tentu di garis finish inilah perjuanganku dan juga teman- temanku harus lebih membara lagi karena disitulah ilmu yang sudah didapatkan dari para ustadz diujikan kembali dari awal masuk sampai akhir. Ada ujian makalah, ada ujian akhir pesantren, ada juga ujian lisan. Tentu aku dan juga teman- temanku tak mau malu dihadapan para ustadz yang nenjadi dewan penguji.


Setelah semuanya mencapai garis finish, yaitu proses pelepasan santri Pondok pesantren PERSIS aku sangat bersyukur karena aku ternyata bisa berjuang mengasah pena di Pondok pesantren sampai empat tahun lamanya. Dan tentu setelah itu, aku harus punya tekad lagi untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Dan aku bertekad untuk melanjutkan pendidikanku di jurusan bahasa arab. Ini adalah impian dan mimpiku serta kedua orang tuaku. Kata orang tuaku anaknya harus lebih tinggi pendidikannya daripada kedua orang tuanya. Semenjak masih menuntut ilmu di Pondok pesantren aku sudah memikirkan dimana aku akan melanjutkan studiku. Bahkan kedua orang tuaku telah setuju ketika aku ajukan tempat studiku selanjutnya.


Empat tahun aku berjuang menuntut ilmu di Pondok pesantren bannyak sekali warna warna kehidupan di sana yang mewarnai kehidupanku. Aku jadi banyak tahu tentang hal- hal baru yang cukup membawa perubahan bagiku serta semangatku. Itu semua tak lepas dari para ustadzku, teman- temanku, serta kakak- kakak kelasku yang selalu mengajariku tentang arti perjuangan, persahabatan dan juga kekeluargaan. Subhanallah ! hal inilah yang semakin membuatku betah untuk tinggal di Pondok pesantren.


Aku mulai mempersiapkan diriku untuk melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi yaitui kuliah. Kampus yang sudah lama kuincar letaknya ada di ibu kota Jakarta. Tempat ini tentu lebih jauh lagi dari kampung halamanku. Tapi tak apalah toh aku sudah dilatih selama empat tahun jauh dari orang tua apalagi kampung halamanku. Ketika hari test masuk mahasiswa baru, aku tak mau melewatkan kesempatan ini dan aku tak mau terlambat datang ke kampus. Karena sesuai peraturan calon mahasiswa yang terlambat memasuki ruang ujian akan dianggap gagal. Bismillah ! aku harus bisa menjadi mahasiswa di kampus ini.


Setelah test telah aku hadapi aku tinggal pasrah dan hanya bisa berdo’a kepada Alla SWT. Agar aku bisa melanjutkan studiku di kampus yang sudah aku incar sejak dulu. Akhirnya tiba saatnya pengumuman hasil test tulis calon mahasiswa baru. Tanpa ada yang mengomando aku langsung menuju kampus untuk melihat sendiri pengumuman hasil ujian test tulis. Tentu hatiku harap- harap cemas memikirkan ada atau tidak namaku di kertas yang berisikan daftar nama- nama calon mahasiswa yang lulus seleksi test tulis. Setelah beberapa kali mataku mencari namaku di 6 lembar kertas yang telah ditempel, Yaa Allah.. namaku ternyata belum ada di salah satu lembaran kertas itu.


Aku sempat putus asa ketika itu. Tapi tak lama kemudian aku mendapatkan penggantinya untuk tempatku menjadi pejuang ilmu. Aku mendapat tawaran dari orang untuk mengajar privat bahasa arab dan tahsin al qur’an untuk anaknya. Tanpa basa- basi aku langsung terima tawaran beliau. Walaupu impianku untuk bisa kuliah melanjutkan studiku tak sesuai harapanku. Tapi aku tak berkecil hati malah aku bersyukur bisa mengajarkan ilmu yang telah aku peroleh dari para ustadzku selama kurang lebih di Pondok pesantren kepada orang lain. Bagiku ini adalah kesempatan untuk sembari mengulang ilmu- ilmu pesantren agar tidak hilang sia- sia.


Alhamdulillah ternyata benar apa yang dikatakan ustadzku dulu. Skenario Allah SWT itu tak akan bisa kita duga. Ternyata ini kurasakan ketika itu aku yang ingin bertekad melanjutkan menjadi pejuang ilmu di bangku kuliah malah Allah berikan kesempatan untuk menjadi pejuang ilmu lewat mengajarkan ilmuku kepada orang lain. Yaa Allah.. Engkau telah memperkenan do’aku, mengabulkan harapanku untuk menjadi pejuang ilmu. Walaupun dengan bekal keilmuan yang seberapa dan bahkan masih dalam hitungan minim menurutku, ini aku tetap harus mengajarkan kepada orang lain. Bukankah al ‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajari bilaa tsamarin ( ilmu tanpa amal itu bagaikan pohon tanpa buah ) ?


Di sepanjang perjalananku mengadu nasib di ibu kota mengajarkan ilmuku, aku masih terus bertekad ingin mencicipi bagaimana rasanya kuliah di kampus yang kuincar. Ketika aku mendapat info bahwa di pertengahan semester akan ada seleksi test calon mahasiswa lagi. Aku tak mau gagal yang kedua kalinya. Aku harus pandai- pandai mengatur waktu untuk belajar demi menghadapi ujian test. Apalagi ketika itu waktuku sudah terpotong untuk mengajar privat. Kalau tida pandai- pandai mengatur waktu pasti aku akan kelelahan dan tak akan bisa konsentrasi belajar.


Setelah aku berjuang kurang lebih enam bulan akhirnya aku bisa menjadi mahasiswa jurusan bahasa araab sesuai yang telah aku impikan. Alhamdulillah lagi- lagi Allah masih mau mau mendengarkan hambaNya. Semua ini tak lepas dari ilmu- ilmu yang telah aku pelajari di Pondok pesantren. Aku hanya bisa berterima kasih saja kepada semua yang selalu mendukung perjuanganku menjadi pejuang ilmu. Terima kasih PERSISku, terima kasih ustadz- ustadzku, terima kasih teman- temanku senasib seperjuangan yang sampai saat ini masih mendukung dan memberikan motivasi kepadaku. Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan – maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan ??

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar